Motivasi dan Kepemimpinan Organisasi Kemahasiswa
Posted by Unknown on 01.50 with 3 comments
Berbagai jenis mahasiswa inilah yang
memunculkan konsekuensi sulitnya menemukan orang-orang yang intens untuk
mengikuti organisasi kemahasiswaan. Selain itu latar belakang mahasiswa
tersebut menyebabkan motivasi untuk melakukan organisasipun menjadi
berbeda-beda. Ditambah lagi adanya tekanan psikologis dari orang tua dan
lingkungan sosialnya menyebabkan mereka lebih memfokuskan pada kuliah
dibandingkan berinteraksi dalam suatu organisasi. Kalaupun ikut dalam
organisasi mereka menjadi “setengah hati”, menapakkan kaki kiri pada
organisasi dan kaki kanan untuk berkonsentrasi pada kuliah. Oleh karena
itu sulit bagi organisasi kemahasiswaan untuk memunculkan prestasi yang
hebat dalam bidang organisasi maupun akademis. Hal ini nampak sekali
dari partisipasi dalam orkem yang hanya sekedar mencantumkan “nama”,
namun sepi akan kreasi dan prestasi yang memadai. Akhirnya Orkem hanya
sekedar sebuah “playgroup”, kumpulan anak-anak mahasiswa untuk
bermain-main, kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, dari pagi sampai pagi
berikutnya.
Apabila hal ini berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan akan mengarahkan pada: tidak adanya proses belajar sosial untuk mencapai tingkat idealisme sebagai mahasiswa; hilangnya sense untuk berorganisasi dengan baik, yang terkait dengan keteraturan; mandulnya improvement terhadap organisasi atau tidak adanya prestasi bisa diandalkan, hanya sekedar menjalankan kebiasaan dari generasi sebelumnya; berorganisasi hanya sekedar “pelengkap” untuk mencari teman, lebih menekankan afektif dalam berorganisasi bukan pada sesuatu yang sifatnya kognitif; serta tumpulnya sensitivitas sosial, kurang responsif terhadap berbagai persoalan di luar yang terkait dengan kajian ilmunya. Kalau semua hal tersebut mengalami repetisi (pengulangan), tentunya akan menjadi sesuatu yang kontradiktif dari pencapaian tujuan berorganisasi yang sebenarnya.
Apabila hal ini berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan akan mengarahkan pada: tidak adanya proses belajar sosial untuk mencapai tingkat idealisme sebagai mahasiswa; hilangnya sense untuk berorganisasi dengan baik, yang terkait dengan keteraturan; mandulnya improvement terhadap organisasi atau tidak adanya prestasi bisa diandalkan, hanya sekedar menjalankan kebiasaan dari generasi sebelumnya; berorganisasi hanya sekedar “pelengkap” untuk mencari teman, lebih menekankan afektif dalam berorganisasi bukan pada sesuatu yang sifatnya kognitif; serta tumpulnya sensitivitas sosial, kurang responsif terhadap berbagai persoalan di luar yang terkait dengan kajian ilmunya. Kalau semua hal tersebut mengalami repetisi (pengulangan), tentunya akan menjadi sesuatu yang kontradiktif dari pencapaian tujuan berorganisasi yang sebenarnya.
Memunculkan Organisasi Mahasiswa dan Pemimpin yang “Ideal”
Organisasi yang ideal tidak selalu berkonotasi dengan kesempurnaan organisasi pada umumnya di perusahaan atau lembaga pemerintahan, namun demikian mencoba untuk realistis dengan kesempatan, uang, waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang dimiliki, namun tetap tidak meninggalkan keteraturan dan tercapainya improvement secara individual maupun organisasi. Oleh karena itu ada beberapa saran untuk memunculkan organisasi mahasiswa yang ideal :
1.Sistem seleksi penting untuk dilakukan untuk mendapatkan mahasiswa yang memiliki motivasi berorganisasi yang baik. Hasil seleksi ini menjadi pedoman dasar bagi rekrutmen pengurus organisasi, sehingga didapatkan “the right man in the right place”. Memang konsekuensi dari seleksi adalah sulitnya mendapatkan orang-orang yang berminat untuk “meramaikan” organisasi, tapi sisi positifnya akan didapatkan orang-orang yang memang serius untuk berkiprah dan membesarkan organisasi.
2. Menciptakan “aturan main” dalam berorganisasi, baik dalam hal hak dan kewajiban anggota sampai dengan punishment dan reward bagi mereka. Aturan main ini tentunya tidak bisa lepas dari aturan yang paling tinggi dari Universitas, yakni Statuta yang menjadi landasan dalam berkegiatan seluruh civitas akademika. Kadang penerapan aturan main ini menjadi kendala tersendiri, karena adanya “rasa sungkan”, ketidak enakan untuk menindak teman sendiri yang merugikan organisasi, sulit mengingatkan “senior” yang buat ulah atau menguasai organisasi. Di sini peran pemimpin sebagai pengendali di lapangan menjadi sangat penting. Sifat kepribadian sebagai pemimpin yang baik, penulis ambil dari pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Djamaludin Ancok (2003) sebagai berikut :
a. Mentalitas berkelimpahan (abundance mentality), orang yang suka membagi apa yang dimilikinya dengan orang lain, orang seperti ini merasa bahwa dengan memberi apa yang dia miliki membuat merasa semakin kaya.
b. Berfikir positif pada orang lain, orang yang seperti ini akan melihat orang lain sebagai bagian dari kebahagiaan hidupnya.
c. Mampu berempati, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, kepekaan ini akan membuat ia bisa merasakan kegembiraan dan kesusahan orang lain.
d. Memiliki kemmapuan komunikasi transformasional, selalu memilih kata-kata yang enak didengar bila berbicara dengan orang, walaupun dalamkondisi berbeda pendapat.
e. Orientasi win-win solution, tidak menginginkan kebahagiaan dirinya sementara orang lain harus kalah.
f. Serving attitude, bukan minta dilayani tapi melayani kepentingan orang yang dipimpinnya, selain itu selalu berprinsip senang bila orang lain senang dan susah bila orang lain susah, bukan sebaliknya
3. Berorientasi pada perubahan (change oriented goal), artinya setiap organisasi harus membuat target yang realistis untuk dicapai oleh timnya. Namun demikian target tersebut tidak meninggalkan pencapaian improvement (perbaikan) dari kapasitas atau potensi diri pribadi dan organisasi. Target harus dimunculkan secara bottom-up untuk memberikan share of responbility, semua anggota merasa bertanggung jawab terhadap segala aktivitas dan tujuan organisasi, tidak hanya tujuan kepengurusan saja. Namun demikian kendala pencapaian perubahan tidaklah mudah dilakukan, karena perubahan akan memiliki konsekuensi yang besar, baik dari sisi individual, karena merasa sudah nikmat dengan kondisi sebelumnya, dan secara sosial akan memunculkan sebuah sistem interaksi sosial yang sangat berbeda sekali, sehingga bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan keluar dari sistem yang ada. Konsekuensi ini seharusnya bisa dihadapi oleh pengurus yang reformis, apabila memiliki motivasi, niat yang tulus dan yang lebih penting lagi “keberanian” untuk memulai.
Organisasi yang ideal tidak selalu berkonotasi dengan kesempurnaan organisasi pada umumnya di perusahaan atau lembaga pemerintahan, namun demikian mencoba untuk realistis dengan kesempatan, uang, waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang dimiliki, namun tetap tidak meninggalkan keteraturan dan tercapainya improvement secara individual maupun organisasi. Oleh karena itu ada beberapa saran untuk memunculkan organisasi mahasiswa yang ideal :
1.Sistem seleksi penting untuk dilakukan untuk mendapatkan mahasiswa yang memiliki motivasi berorganisasi yang baik. Hasil seleksi ini menjadi pedoman dasar bagi rekrutmen pengurus organisasi, sehingga didapatkan “the right man in the right place”. Memang konsekuensi dari seleksi adalah sulitnya mendapatkan orang-orang yang berminat untuk “meramaikan” organisasi, tapi sisi positifnya akan didapatkan orang-orang yang memang serius untuk berkiprah dan membesarkan organisasi.
2. Menciptakan “aturan main” dalam berorganisasi, baik dalam hal hak dan kewajiban anggota sampai dengan punishment dan reward bagi mereka. Aturan main ini tentunya tidak bisa lepas dari aturan yang paling tinggi dari Universitas, yakni Statuta yang menjadi landasan dalam berkegiatan seluruh civitas akademika. Kadang penerapan aturan main ini menjadi kendala tersendiri, karena adanya “rasa sungkan”, ketidak enakan untuk menindak teman sendiri yang merugikan organisasi, sulit mengingatkan “senior” yang buat ulah atau menguasai organisasi. Di sini peran pemimpin sebagai pengendali di lapangan menjadi sangat penting. Sifat kepribadian sebagai pemimpin yang baik, penulis ambil dari pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Djamaludin Ancok (2003) sebagai berikut :
a. Mentalitas berkelimpahan (abundance mentality), orang yang suka membagi apa yang dimilikinya dengan orang lain, orang seperti ini merasa bahwa dengan memberi apa yang dia miliki membuat merasa semakin kaya.
b. Berfikir positif pada orang lain, orang yang seperti ini akan melihat orang lain sebagai bagian dari kebahagiaan hidupnya.
c. Mampu berempati, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, kepekaan ini akan membuat ia bisa merasakan kegembiraan dan kesusahan orang lain.
d. Memiliki kemmapuan komunikasi transformasional, selalu memilih kata-kata yang enak didengar bila berbicara dengan orang, walaupun dalamkondisi berbeda pendapat.
e. Orientasi win-win solution, tidak menginginkan kebahagiaan dirinya sementara orang lain harus kalah.
f. Serving attitude, bukan minta dilayani tapi melayani kepentingan orang yang dipimpinnya, selain itu selalu berprinsip senang bila orang lain senang dan susah bila orang lain susah, bukan sebaliknya
3. Berorientasi pada perubahan (change oriented goal), artinya setiap organisasi harus membuat target yang realistis untuk dicapai oleh timnya. Namun demikian target tersebut tidak meninggalkan pencapaian improvement (perbaikan) dari kapasitas atau potensi diri pribadi dan organisasi. Target harus dimunculkan secara bottom-up untuk memberikan share of responbility, semua anggota merasa bertanggung jawab terhadap segala aktivitas dan tujuan organisasi, tidak hanya tujuan kepengurusan saja. Namun demikian kendala pencapaian perubahan tidaklah mudah dilakukan, karena perubahan akan memiliki konsekuensi yang besar, baik dari sisi individual, karena merasa sudah nikmat dengan kondisi sebelumnya, dan secara sosial akan memunculkan sebuah sistem interaksi sosial yang sangat berbeda sekali, sehingga bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan keluar dari sistem yang ada. Konsekuensi ini seharusnya bisa dihadapi oleh pengurus yang reformis, apabila memiliki motivasi, niat yang tulus dan yang lebih penting lagi “keberanian” untuk memulai.
Selamat Berorganisasi !!!!!!!!
Semakin dekat cita-citamu tercapai semakin berat penderitaan yang kamu alami
Semakin dekat cita-citamu tercapai semakin berat penderitaan yang kamu alami
Berpikir tentang masa depan akan
membuatmu ingin melangkah mencapai yang lebih baik, berpikir tentang
masa lampau akan membuatmu terperangkap pada ketidakpastian
Lebih baik menjadi orang kecil tetap BEKERJA sendiri daripada berlagak orang besar tetapi meminta-minta !!!
Categories: Motivasi
(y) :D
BalasHapusMantap boss !! :D
BalasHapusyuppppssss
BalasHapus